Jakarta, 17
Desember 2013
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Dra. Maura Linda Sitanggang, Apt., Ph.D., menyampaikan pandangannya terkait pro-kontra sertifikasi halal bagi produk farmasi, melalui surat elektroniknya kepada Pusat Komunikasi Publik Kemenkes (16/12).
Menurutnya, terdapat dua alternatif kebijakan pemerintah terkait obat yang menggunakan bahan baku bersumber binatang atau dalam proses produksinya pernah bersinggungan dengan bahan bersumber babi, yakni sebagai berikut:
1) Apabila masih terdapat alternatif lain, misalnya tersedia bahan bersumber sapi, maka terhadap produk obat tersebut tidak dapat diberikan izin edar. Contoh produk sudah ada alternatif sapi, yaitu:
a.heparin berat molekul tinggi, yang
disetujui hanya yang dari human dan sapi;
b.Insulin yang disetujui hanya yang non-babi. Sebagai
informasi, dahulu pernah beredar insulin berasal dari babi sebelum ditemukan
insulin non-babi;
c.Cangkang kapsul harus dari gelatin sapi atau non-babi.
2) Apabila tidak
ada alternatif lain, maka akan dikaji manfaatnya secara medis dan diberikan
transparansi informasi pada label produk. Contoh: heparin dengan berat molekul
rendah berasal dari babi dan belum ada yang dari sapi, persetujuan harus
mengikuti ketentuan transparansi informasi pada label. Peraturan terkait dengan
informasi asal bahan obat terdapat pada Peraturan Kepala Badan POM No.
Hk.03.1.23.06.10.5166 tahun 2010.
Lebih lanjut, Maura
Linda menerangkan bahwa penemuan dan pengembangan obat baru, dilakukan melalui
penelitian yang lama antara 10 sampai 20 tahun, dan umumnya dilakukan di luar
negeri. Dalam pengembangan obat harus dilakukan studi pre-klinik, studi klinik,
formulasi dan teknologi untuk membuktikan serta memastikan keamanan, khasiat,
dan mutu produk obat tersebut. Penemuan obat yang berasal dari binatang akan
berisiko dengan sesuatu yang tidak halal, misalnya kandungan aktifnya berasal
dari babi atau pada proses pembuatannya pernah bersinggungan (misalnya sebagai
katalisator) dengan bahan bersumber babi. Dalam hal ini prinsip penerimaan obat
tersebut di Indonesia adalah kedaruratan, apabila tidak ada alternatif lain.
Selanjutnya, apabila di kemudian hari dengan adanya perkembangan riset dan teknologi,
ditemukan alternatif non babi untuk zat yang sama, produk tersebut segera
diganti dengan alternatif non babi, contohnya adalah produk insulin.
Masyarakat tidak
perlu khawatir, kebijakan pemerintah terkait obat yang menggunakan bahan baku
bersumber binatang atau dalam proses produksinya pernah bersinggungan dengan
bahan bersumber babi hanya apabila tidak ada alternatif lain. Prinsip
penerimaan obat tersebut di Indonesia adalah kedaruratan, karena tidak ada
alternatif lain. Untuk itu, dikaji manfaatnya secara medis serta diberikan
transparansi informasi pada label produk., tandasnya.
Sesuai dengan
mandat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sediaan farmasi
yang beredar di Indonesia harus memiliki izin edar. Untuk memiliki izin edar,
sesuai dengan Permenkes Nomor 1010/Menkes/Per/XI/2008, obat didaftarkan
terlebih dahulu atau disertifikasi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
untuk memastikan keamanan, khasiat, mutu, dan kebenaran informasi yang
tercantum pada label penandaan produk obat.
Pemerintah
menyadari bahwa sosialisasi penggunaan obat dan pelayanan informasi obat antara
tenaga kesehatan dan konsumen perlu dan akan terus ditingkatkan di masa depan,
katanya.
Berita ini
disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian
Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes
melalui nomor hotline <kode lokal>
500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021) 52921669, website www.depkes.go.id
dan alamat e-mail kontak@depkes.go.id